Thursday, January 17, 2008

Membimbing Si Kecil

Hampir sampai di rumah, lima belas menit lebih cepat dari jadwal, aku punya cukup waktu untuk ganti pakaian sebelum kembali melompat masuk ke dalam mobil, untuk menempuh jarak empat puluh lima mil, memenuhi janji temu dengan seorang agen real estat yang akan menunjukkan padaku sebuah rumah di daerah yang tak lama lagi akan menjadi "lingkunganku yang baru". Dasar sial, aku terjebak di lampu merah paling panjang di daerah tersebut.

Sementara menunggu lampu berganti hijau, sekilas aku melihat seekor burung yang agak besar, terbang rendah. Di belakang burung besar itu ada seekor burung yang sangat kecil, sepertinya sedang mematuk-matuk ekor burung burung besar itu. Tapi, setelah mengamati keduanya beberapa saat, kusadari bahwa burung besar itu adalah induknya , dan kusimpulkan bahwa burung kecil itu adalah anaknya yang sedang belajar terbang. Sekonyong-konyong si burung kecil tidak bisa mempertahankan ketinggiannya dan ia mengepak-ngepakkan sayap dengan panik; ia jelas tak bisa tetap melayang. Induknya langsung menukik turun dan mengangkat si anak ke punggungnya, menyongsong langit tak berangin yang biru cerah, lalu keduanya terbang kembali. Si anak burung dengan canggung berhasil memulihkan kemampuan terbangnya, didampingi ibunya dari jarak sangat dekat. Lambat-laun sang induk pindah beberapa meter ke sampingnya, lalu beberapa meter di bawahnya. Sang anak bisa terbang dengan baik.

Aku begitu terpesona oleh pemandangan ini, sampai tidak memperhatikan bahwa lampu telah berganti hijau. Mobil-mobil di belakangku mulai membunyikan klakson. Aku menjalankan mobil perlahan-lahan sambil terus mengamati kedua burung tersebut. Sekonyong-konyong memandangi peristiwa penting di antara si anak burung dan induknya yang telah menunjukkan tindakan penuh cinta dan melindungi terhadapnya jadi lebih penting daripada janji temuku. Maka aku terlambat lima belas menit. Begitu hidup.

Aku jadi teringat ketika bayiku baru belajar berjalan. Mula-mula aku memegangi kedua tangannya, kemudian perlahan-lahan aku melepaskan genggamanku, tapi tanganku kujaga agar tetap dekat dengan tubuhnya, untuk menangkapnya kalau ia jatuh. Mataku jadi basah oleh air mata. Aku jadi merasa sangat sayang pada induk burung itu, yang merawat dan membantu melepaskan anaknya untuk mengikuti jalan hidupnya sendiri. Aku kembali teringat anak perempuanku, yang sekarang sudah dewasa dan mempunyai bayi berumur sembilan bulan; sekarang ia juga mengalami saat-saat mengesankan itu, yang hanya bisa dipahami oleh seorang ibu.

Begitu sering kita melepaskan anak-anak kita, dengan berbagai cara: kita membantu mereka belajar berjalan untuk pertama kalinya; kita melepaskan mereka ke sekolah; kita memperhatikan saat mereka berkencan untuk pertama kalinya; kita berharap mereka sukses saat mereka kuliah; dan kita menyerahkan mereka saat mereka memasuki pernikahan. Tapi kita tak pernah melapaskan mereka dari hati kita.

Kulihat si induk burung dan anaknya melayang tinggi dan bebas saat aku mendekati garasiku. Sekarang tak ada waktu tersisa---aku bergegas ke pintu. Telepon mulai berdering. Semula ingin kubiarkan saja mesin penjawab yang menyambutnya, tapi entah kenapa aku merasa terdorong untuk mengangkat telepon itu. Terlambat lima menit lagi, pikirku.

Ternyata yang menelepon itu anak perempuanku, dari rumahnya yang jauhnya seribu lima ratus mil, mengabarkan bahwa anak laki-lakinya, cucuku, baru saja belajar melangkah untuk pertama kalinya. Aku mulai menangis. Aku percaya bahwa aku telah turut menikmati saat-saat itu bersamanya dalam cara yang indah dan tak dapat dijelaskan. Tuhan telah membiarkan aku turut menikmati saat-saat itu.

Kutelepon agen real estat-ku dan kuminta ia menjadwal ulang janju temu kami hari ini. Lalu aku berangkat ke pantai untuk berjalan-jalan dan duduk sebentar, sambil menatap cakrawala. Kutengadahkan wajah sambil menarik nafas panjang . Burung-burung melayang tinggi di atas sana, dan cucu lelakiku, baru saja memulai perjalanannya menapaki hidup ini. Kuharap ia melangkah dengan hati-hati, satu langkah setiap kali.

Eileen Davis

( Sumber buku "Rumahku Istanaku dan kisah-kisah menyentuh lainnya" )

No comments: