Friday, January 25, 2008

Ibu Dan Syair Kematian


Cerpen Nugroho Sukmanto Silakan Simak!
Dimuat di Suara Merdeka Silakan Kunjungi Situsnya! 11/18/2007


HINGGA terdengar panggilan boarding, tak ada lagi berita tentang kondisi Ibu yang sedang terbaring di ruang ICU. Masih koma. Hanya itu SMS terakhir adikku. Untuk menjawab pertanyaan yang barangkali menggelayut di benak keluarga yang tinggal di Semarang, aku segera menyampaikan pesan, "Sebentar lagi aku akan naik pesawat..."


***

LEPAS landas, menembus jendela berembun dibasuh kabut-kabut lembut cairan mengkristal, mataku menerawang. Berlatar awan-awan putih melapis langit, lamunanku menghadirkan bayangan Ibu yang sedang kritis.

Lalu tiba-tiba terngiang kata-kata Ibu setahun lalu, saat kami selesai menggulung tikar, setelah para ulama dan ustad, kawan-kawan Bapak, pengurus Madrasah Muhammadiyah Kampung Pendrikan, beriringan pulang. Ya, mereka memang rajin membacakan Surat Yasin dan mengalunkan zikir untuk mendoakan para sahabat yang telah lebih dahulu pergi. Waktu itu, mereka bertahlil khusyuk sekali saat memperingati 1.000 hari kematian Bapak.

"Kamu nggak usah sedih jika suatu nanti aku menyusul bapakmu. Kalau kamu sedang liburan atau bertugas ke luar negeri, kamu tak perlu buru-buru pulang. Yang penting, kamu jangan melupakan janjimu membuat syair untuk digubah menjadi lagu. Bukan aku yang minta lho... kan kamu sendiri yang janji.

Aku akan merasa bahagia di alam kematian, mendengarkan nyanyian yang kamu ciptakan. Tapi jangan yang norak. Mendengarnya, nanti aku nggak nyenyak tidur di dalam kubur. Bisa-bisa malah keliaran jadi leak atau kuntilanak..."

"Rasanya Ibu lebih cocok jadi Si Manis Jembatan Ancol deh daripada kuntilanak," adik perempuanku yang paling kecil menyahut.

Ini membuat kami tertawa semua.

"Amit amit!" Ibu mengucap sambil mengetuk-ngetuk tonjolan lekuk jarinya ke permukaan lantai.

Jika berbincang mengenai janji-janji apa pun yang hendak kami berikan kepadanya, Ibu tak pernah mengingat-ingat. Mungkin karena tak terlalu mengharapkan. Tetapi terhadap janjiku untuk membuat puisi dan menggubahnya menjadi lagu, Ibu tak pernah lupa. Bahkan ditagih terus sampai akhir hayat.

Itulah Ibu. Ia menyambut kematian dengan canda. Sepertinya ia ingin meninggal sambil tertawa. Dari perkataan-perkatan yang terlontar, aku tahu ia merasa telah menyelesaikan kewajiban menjalani kodrat sebagai perempuan, ibu, dan istri, sehingga menjemput kematian, serasa tak memiliki beban atau kekhawatiran sama sekali. Bahkan kelihatan sangat sumringah dan bergairah.

"Umurku sudah 75 tahun. Tugas terakhir menyelenggarakan seluruh selamatan untuk almarhum yang menjadi tradisi sudah kupenuhi. Akan kuusahakan menjelang kematian aku tak menyusahkan siapa pun. Bapakmu itu orang yang paling beruntung. Mati tanpa sengsara akibat sakit berlarut-larut. Tapi dasar pedagang, meninggal pun saat sedang mencari uang..."

Bapak memang wafat dengan cepat. Waktu itu, berangkat ke kantornya yang mirip gudang di Pekojan, kawasan Pecinan, Bapak ditemani oleh Tasya, salah seorang cucu. Walaupun sudah berusia 73 tahun, Bapak tidak pernah mau berhenti bekerja. Tetapi tidak seperti saat masih muda yang keranjingan kerja, menghabiskan masa tua, Bapak bekerja seenaknya. Berangkat ke kantor pukul 10.00, pukul 14.00 sudah sampai di rumah lagi. Yang diurusi pun hanya perusahaan pribadi -berupa grosir gula pasir- yang didirikan bersama Koh Mboen, Cina Singkek, sahabat lama yang bentuk pertemanan mereka oleh Ibu disebut sebagai "benang dengan layangan".

Di tengah jalan, saat mengendarai mobil, Bapak terkena stroke. Mungkin akibat penyakit tekanan darah tinggi yang pada saat-saat terakhir kurang diurus. Belum sampai di rumah sakit, saat dilarikan tukang becak langganan yang kebetulan memergoki, Bapak sudah tak bernapas lagi. Menurut Tasya, sebelumnya Bapak kejang-kejang sebentar. Kematian semacam itulah yang dianggap Ibu sebagai kematian yang cukup menyenangkan.

Dua hari yang lalu Ibu dibawa ke rumah sakit karena terjatuh di kamar mandi. Sekarang Ibu dalam keadaan tak sadarkan diri, tetapi belum sampai sehari penuh. Pasti Ibu sedang ditopang oleh berbagai peralatan medis dan mekanis.

Jika dokter mengatakan tindakan itu sebagai jalan satu-satunya untuk mempertahankan hidup yang tak mungkin lagi memperoleh kesembuhan, apakah maksud Ibu "tak ingin menyusahkan" berarti sama dengan aku harus mengizinkan selang-selang yang kubayangkan malang melintang itu dicabut dan seketika menghilangkan nyawanya?

Apakah dengan demikian Ibu merasa "beruntung" karena kematiannya tidak "sengsara akibat sakit yang berlarut-larut"?

Bukankah menurut agama kita tidak boleh mendahului Sang Pencipta dan hanya Dialah Penguasa yang berhak mencabut nyawa manusia? Bukankah kewajiban seorang anak harus mengupayakan pengobatan dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, memohon diberi kesembuhan yang kemungkinan -dalam keadaan separah apa pun- dapat saja dikabulkan?

Alangkah jahat dan durhaka seorang anak menutup harapan hidup orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang. Apalagi dilakukan dengan sengaja dan jelas-jelas akan mengakibatkan nyawanya tercabut.

Hmm, di satu sisi aku menangkap sepenggal wasiat,...sebuah permintaan. Tetapi di sisi lain aku harus menjalankan amanah,... kewajiban insan beriman.

Saat dicekam kebimbangan semacam itu, terbayang segala keindahan sosok Ibu.

Ibu selalu memandang segala sesuatu yang terjadi sebagai hikmah yang harus disyukuri. Pelajaran tentang cara menatap kehidupan, banyak yang ia ajarkan. Ibu selalu mengingatkan, "Hal-hal yang kelihatan sepele tetapi digali dari lubuk yang paling dalam akan memunculkan kemurnian. Jangan suka mengungkap yang semu, apalagi palsu, atau memaparkan keunggulan dan kemewahan. Biar orang lain memuji atau memperbincangkan, tetapi jangan sekali-kali kamu yang menceritakan tentang kehebatanmu atau keluargamu. Bahkan sebaliknya, kamu yang harus menceritakan kehebatan mereka."

Dulu aku merasa iri ketika teman-teman menceritakan kehebatan ibunya. Aku ingat Tommy menceritakan ibunya yang menguasai empat bahasa asing, lulusan sebuah akademi, dan menjadi pejabat sebuah bank pemerintah. Menuk bangga ibunya sebagai pengurus organisasi massa yang memiliki banyak pengikut. Kemal memuji ibunya yang pandai bermain tenis dan menguasai bridge, olah raga otak kalangan intelek. Dewi katanya punya ibu sangat istimewa yang selalu membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dan mencarikan penyelesaian soal-soal yang tak dimengerti.

Ibuku? Ibuku hanya seorang guru sekolah rakyat. Itu pun ia lakukan hanya sampai ketika Bapak telah sepenuhnya berdagang, melepas pekerjaan sebagai karyawan PLN, dan pengawas beberapa gardu wilayah selatan. Hanya satu bahasa asing, bahasa Belanda yang dikuasai. Itu pun karena Ibu pernah sekolah di HIS. Ibu juga sangat-sangat menghindari ikut organisasi massa. Paling-paling ia aktif di paguyuban aliran kebatinan, membantu kakaknya menyiapkan katering jika mereka mengadakan semedi bersama.

Bermain tenis? Tidak mungkin. Main badminton saja sepertinya akan kedodoran. Membantu menyelesaikan pekerjaan rumah atau memecahkan soal-soal dari sekolah? Rasanya sedapat mungkin ia jauhi.

"Kalau kamu tak mampu, jangan dipaksakan. Mungkin sebatas itu kapasitas yang menjadi suratan. Tetapi setiap orang, biar bodoh sekalipun, harus menggunakan kepintaran yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi, tanpa bantuan orang-orang yang semestinya tak dilibatkan. Artinya kamu harus berusaha sendiri. Harus mandiri!" Ibu sering berkata begitu dan Bapak sangat setuju.

Saat kuceritakan banyak kawanku yang membanggakan ibunya dan kutanyakan apa sebetulnya kehebatan Ibu yang harus kuceritakan kawan-kawan, ia malah bilang, "Mestinya aku yang nanti harus bangga padamu, bukan sebaliknya. Bilang saja ibumu hanya seorang guru sekolah rendah."

"Boleh aku menceritakan Ibu sebagai seorang pujangga?"

"Menceritakan aku gemar bersyair boleh-boleh saja. Siapa tahu mereka menjadi terinspirasi mencintai syair juga. Tetapi jangan kaubanggakan aku sebagai penyair. Itu bukan profesi atau hobi yang kugeluti. Aku telah memilih pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kesenanganku hanya memasak dan bersih-bersih rumah. Sisa waktu, paling kuhabiskan untuk membaca buku atau kadang-kadang menulis. Bapakmu yang meminta aku mengisi waktu bersama keluarga saat dia harus mengorbankan waktu karena disita kesibukan mencari uang."

Memang aku dan adik-adikku sangat merasakan di rumah selalu ada seseorang yang menjadi tempat berkeluh dan sosok tumpuan menyibak kebuntuan. Tidak hanya muncul secara fisik, ia juga menghadirkan jiwanya. Pendek kata, Ibu itu bagi kami adalah tiang kelana kehidupan yang memotivasi untuk terus berprestasi. Untuk memberi inspirasi, Ibu sering membacakan puisi. Baik karya sendiri atau cuplikan dari sebuah antologi. Ibu bilang semua itu untuk menggugah perasaan agar lebih peka menerima pesan-pesan berarti yang perlu dipahami.

Kemudian kami memang bersama-sama membangun ruang komunikasi dengan pengantar bahasa-bahasa samar. Rasanya menggunakan ungkapan metaforik, talirasa lebih lekat terjalin dan maknanya lebih meresap ke dalam perasaan.

Kata Ibu, "Syair itu merupakan kelembutan ekspresi keberadaan jiwa. Syair itu kehadiran ruh kita yang selalu ingin menyatu dalam jalinan keluarga. Tubuh kita bisa mati. Fisik kita bisa sirna. Tetapi ruh kita akan tetap hidup. Antara lain ya dalam syair itu."

Kami terdiam.

"Jadi kalau aku mati, itu hanya kematian jasadku yang akhirnya dengan tanah lebur menyatu. Saat kamu baca syair yang lahir dari tanganku, ruhku akan ada di situ. Begitu pula saat kamu baca syairmu, aku pasti akan tergugah menyimak. Jadi, mari usahakan kita dapat terus berkomunikasi lewat syair atau sekarang kau menyebutnya sebagai puisi!"

***

SAAT menuruni tangga pesawat, kebimbangan yang menyelimuti, kupendam dulu dalam-dalam. Biarlah nanti kuputuskan setelah melihat dan memahami situasi. Tetapi tanpa sebuah keputusan yang kuyakini, tetap saja keraguanku menempatkan perasaan mengambang tak menentu. Jika keadaan Ibu seperti yang kubayangkan, betul-betul aku akan dihadapkan pada posisi yang amat sangat sulit.

Saat HP kubuka kembali, membaca pesan adikku, aku tersenyum. Ternyata Ibu benar-benar tak ingin menyusahkan. Ia wafat saat pesawat telah mengudara. Dan air mataku seketika deras mengalir. Apakah itu tangis sedih, lega atau haru, terasa berbaur hingga tak dapat dengan mudah dipilah-pilah. Mungkin Ibu mangkat setelah beliau yakin benar, sebentar lagi aku pasti akan datang.

Ketika adikku menyampaikan bahwa jenazah menungguku untuk dimandikan, langsung kupesan taksi menuju RS Elisabeth. Menurut kebiasaan, semua anak-anak harus ikut mengguyur jenasah sebelum dibungkus kain kafan. Walau lengan baju sudah kusingkap, niat memandikan kuurungkan, setelah adikku menyampaikan titipan Ibu, sebelum beliau kehilangan kesadaran.

Kudapati tulisan serupa syair, serupa puisi terselip dalam amplop: "Tak usah kau ikut memandikan/ Jasadku yang dingin profan/ Singkaplah kain kafan/ Pandang wajahku dalam senyuman/ Lalu bacakan puisi-puisi/ Mengiring hidup di alam kematian"

Selesai dimandikan, kupandangi wajah Ibu yang cerah, sedang pulas tidur sambil tersenyum. Memenuhi permintaannya, kubacakan syair-syair dalam berbagai bahasa yang Ibu mengerti, Jawa, Melayu, Belanda dan satu syair indah berbahasa Arab, yang dilafalkan Ibu pada waktu malam: Surat Yasin.

Selamat jalan, Ibu. Pasti, akan kugubah sebuah lagu mengiringi melepas rindu saat engkau bertemu kekasihmu.***

Bintaro Jaya, 5 Februari 2007

Ibu Meninggal


Cerpen Hudan Hidayat Silakan Simak!
Dimuat di Jawa Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 12/23/2007

HINGGA hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat membuat ibu bahagia.


Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku seakan tak mendengar bunyi apa pun, saat pulang ke rumah dan mengepak barang yang akan kubawa. Anak-anak dan istriku sudah siap dengan bawaan mereka. Tapi aku seolah kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam lubang yang tak bisa kuhentikan.

Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. Waktu ayah miskin aku membantu ibu jualan beras di Pasar Enam Belas. Aku juga sering menagih orang yang kredit dengan ibuku. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh kakak atau adik-adikku. Tapi justru itu yang membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit aku kasihan sekali. Aku ingin membantunya tapi tidak bisa: sakit ibu sudah parah. Aku tidak pernah acuh pada ibu. Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya.

Lain sekali rasanya kematian itu. Sore itu kami mengaji di makam ibu. Ada bentangan daun dan kembang. Juga bunga yang ditabur di makam. Sejam yang lalu aku ikut turun ke liang itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami.

Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali denan ayahku. Ayahlah yang mendidikku dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja yang aku suka, tidak pernah melarang. Dulu aku memimpikan ayahku dua kali: ayah begitu marah padaku dan meninggal dalam mimpiku. Aku begitu sedih sampai terbangun. Tercekam dengan mimpiku. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati. Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini?

Entah mengapa aku mengenang mimpi itu, saat adik perempuanku menelepon, mengabarkan ayah sakit di Tanjung Balai Asahan. Dalam telepon adikku menangis. Suaranya terbatabata. Ayah sakit keras. Dibawa naik kapal dari India. Hanya ditemani seorang kawannya. Aku terdiam. Segera kuingat kelompok jamaah kawan-kawan ayah yang kuantar ke bandara. Terngiang-ngiang kata-kata ayahku. Ayah akan empat bulan di luar negeri, berkeliling dari masjid ke masjid di Malaysia, India, dan kalau mungkin, Banglades. Hidup berdasarkan pemberian orang. Makan dan tidur di masjid. Kami tamu di sana. Setelah tiga hari sang tuan rumah boleh tidak menganggap tamu lagi. Artinya sang tamu harus pergi. Akan mencari masjid lain. Begitulah akan terjadi selama empat bulan. Ayah dan kawan-kawannya akan melalukan syiar agama dari masjid ke masjid di sana.

Suara adikku terdengar lagi. Adek sudah menuju bandara. Kita bertemu di bandara dan berangkat dengan pesawat pertama.

Aku merasa dia sudah mengendalikan diri. Agak tenang. Tetapi justru aku yang mulai tidak tenang. Penuh tekanan saat aku berusaha mengatakan sesuatu padanya. Seolah segala suka-duka keluargaku masuk ke dalam tekanan itu. Segera kukabarkan keluargaku yang lain. Kutelepon kakakku. Dia termenung mendengar kabar dariku. Bertanya. Lalu diam. Aku menyadarkannya kembali. Sebaiknya kita berangkat bersama. Ada pesawat Garuda pukul 14 siang ini. Aku menelepon lagi. Ayah sakit kritis, Jen. Beriap-siaplah. Kami yang di Jakarta akan berangkat segera ke Medan. Kalian yang dari luar kota sebaiknya berkumpul di Jakarta. Setidaknya menunggu kabar dari kami.

Seperti aku pertama kali mendengar kabar sakitnya ayah, adikku pun diam tak berkata-kata. Aku hanya mendengar nada kosong dalam telepon. Lalu suaranya yang sangat pelan. Aku berangkat hari ini juga. Jalan darat ke Jakarta.

Sebuah SMS masuk ke dalam teleponku.Aku membukanya sambil mengemudi. Aku tak mau melihat pengirimnya lagi. Pasti kabar tentang ayah. Mobilku tertahan di lampu merah di bawah jembatan flyover Kebayaron Lama. Aku membaca SMS itu, saat wajah seorang lelaki yang muncul tiba-tiba dari kaca kanan mobilku. Aku masih sempat membaca kalimat pertama.

Assalamualaikum. Nama saya Abdullah. Jemaah Majelis Tabligh dari Aceh...

Aku menyimak lelaki itu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuatku kaget. Aku melihat tonjolan-tonjolan daging di sekujur tubuhnya. Kulit lelaki tua itu keriput dan menghitam. Penyakit kulit membuat tubuhnya rusak dan nampak mengerikan. Lidahnya terjulur di antara mulutnya yang lebar, membuatku merasa seolah lelaki itu bukan manusia. Tetapi ia adalah manusia. Hanya kehidupan telah mengalahkannya.

Lelaki itu tidak menunjukkan isyarat apa pun. Diam dan mematung di balik kaca mobilku. Matahari menusuknya. Tonjolan-tonjolan daging di tubuhnya melepuh dan mengeluarkan minyak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Sorot matanya kosong tak menunjukkan keinginan. Seolah kehadirannya di tengah jalan itu hanya mekanis, dari sebuah pekerjaan rutin untuk meneruskan hidup. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sikapnya yang memilukan itu membuatku tak sampai hati. Bagaimana menolong lelaki ini? Aku mulai menggenggam uang seratus ribu, sambil memikirkan lelaki itu. Aku kira lelaki seusianya sudah tidak pantas lagi di jalan raya. Tapi toh lelaki ini tetap di jalan raya. Ke manakah keluarganya, pikirku. Aku jadi teringat ayahku. Siapakah yang menolong ayah waktu sakit di luar negeri? Pasti berat sekali, ayah membawa tubuhnya sendiri.

Aku sangat menyesal, karena lampu hijau membuat aku harus meninggalkannya. Aku belum sempat memberikan uang seratus ribu itu. Mestinya aku tadi tidak sibuk berpikir. Tetapi aku telah berpikir dan uang itu tetap di tanganku.

Benarkah ini nomor Bapak Hudan, putera dari Bapak Jemat. Semoga benar. Saya sudah mengontak nomor-nomor di HP ayah kalian. Seseorang yang saya kontak menyebutkan antara lain nama Bapak...

Jadi, seseorang di Tanjung Balai telah menolong ayahku, dengan mengontak segala nomor yang ada di telepon seluler ayah.

Bapak Jemat sakit keras. Ayah kalian terbaring di klinik sederhana di Tanjung Balai. Segeralah ke sana sebelum semuanya terlambat.

Kalimat-kalimat akhir SMS itu bergaung dalam jiwaku. SMS itu mengingatkanku berita kematian ibu. Pagi itu aku sudah berada di mobil dengan istriku, menuju kantor. SMS itu masuk, hanya gabungan kata-kata, yang kalau kita hilangkan bagian-bagiannya tak memiliki arti apa pun. Hari-hariku sering disibukkan dengan memenggal-memenggalnya. Mengujinya apakah artinya masih dalam maknanya. Sering aku menghadapi gabungan kata "kematian" dalam kesepian kamar kerjaku di waktu malam. Saat istri dan anak-anaku sudah tertidur, aku naik ke atas dan masuk ke kamar kerjaku.?Di sanalah aku. Menguji kata atau kalimat yang kusukai untuk diriku. Kematian tidak menakutkan. Tidak lebih dari ujung sebuah perjalanan, di mana kita berhenti di suatu tempat. Perjalanan itulah kehidupan. Perhentian itulah kematian. Begitulah kalimat yang terbentang di meja kerjaku. Kalimat yang kusukai. Lalu aku memenggal-menggalnya. Kupisahkan katakata itu dan aku kini hanya menghadapi sebuah penggalan kata "kematian", "perhentian", dan "kehidupan". Gabungan huruf yang masih bermakna. Lalu kupenggal lagi. Kuhilangkan lagi sampai dia menjadi huruf-huruf mati dan hurufhidup. Terbentang di mejaku sesuatu yang tidak bermakna sama sekali. K, P, K, huruf dari sebuah awal yang bisa apa saja. Yang jelas sudah tidak menunjuk lagi fakta tentang kehidupan yang berhenti. Huruf atau kata yang terpenggal ini di mana menakutkannya? Tidak ada. Kita bisa santai menghadapinya. Kita bisa bermainmain dengannya. Mengisinya sesuka hati.

Tapi, pagi itu, aku diharu-biru oleh gabungankata-kata itu. Seakan kata-kata yang kupenggal itu seolah marah, seolah-olah dia makhluk bernyawa di mana penggalan yang kulakukan seakan telah membunuhnya. Menghisap darahnya, sehingga ia menggelepar tak berdaya. Dan, kini semua kata yang sering kupenggal itu bangkit menunjukkan dirinya. Menghantam tepat di pusat kesadaran jiwaku. Membuatku luluh-lantak. Begitulah kudengar berita kematian ibu melalui SMS itu. Aku seolah bermimpi. Seakan tak percaya kalimat-kalimat dalam SMS itu. Ibu kita telah tiada. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Bengkulu...

Aku meledak dalam tangis yang mencekam. Aku sudah berusaha menahannya tapi tangis itu seolah makhluk bernyawa yang tak bisa kuhentikan. Aku memutar mobilku sambil menangis. Istriku menyabarkanku tapi tak lama kemudian dia pun ikut menangis. Anakku yang baru berusia 3 tahun mungkin menangkap dengan batinnya. Dia mengucapkan kata-kata dengan wajah anak yang tak mengerti. Ada apa Papa. Mana penjahatnya. Mari kita tembak penjahatnya. Istriku mengelus-elus kepala anakku. Dia belum tahu permainan orang dewasa dengan tangisnya. Tangis yang menyimpan riwayat kesalahan dan dendam. Tangis dari sebuah kehidupan yang tiba-tiba terputus. ***
(Kenangan untuk ibuku)

Mata Ibu

Cerpen Isbedy Stiawan ZS Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 06/18/2006


Sungguh, aku tak dapat menolak—bahkan secara halus—ketika Linda memintaku agar mengantarnya ke rumah ibuku. Tetapi, aku tetap mengulur-ulur waktu….

Aku hanya mau silaturahmi," ujarnya kemudian. Ringan.

Aku bimbang. Sulit sekali untuk menyatakan tidak atau ya. Justru yang terbayang adalah wajah ibuku. Meskipun ibuku sudah tak lagi dapat melihat sejak lima tahun karena diabetes, ibu pasti tahu kalau yang kubawa bukan Mirna, istriku. Kemudian ia akan bertanya macam-macam tentang Linda. Perasaan seorang ibu yang sudah 60 tahun lebih hidup pastilah akan berkata lain. Setidaknya, dia akan berkata dalam hatinya bahwa aku sudah berani bermain api. Atau kebiasaan ibu yang selalu berterus terang akan bertanya: "Kamu sudah beristri lagi, ya? Jangan lukai hati perempuan. Jangan sekali-kali menipu istri, Rud."

Kata Linda hanya mau silaturahmi. Benarkah tanpa maksud lain di baliknya? Aku ragu. Soalnya, Linda belum kenal dengan ibuku. Ibu juga tak mengenal perempuan lain bahkan sebagai temanku sekalipun, kecuali Mirna yang sudah menjadi istriku selama 23 tahun. Ibu juga amat tahu dengan pribadiku selama ini yang tak suka bermain-main api, tak pernah berkhianat. Bahkan sewaktu aku berpacaran dengan Mirna, aku tak pernah membawa perempuan lain ke rumah. Selalu Mirna yang kuajak. Senantiasa Mirna yang datang dan menemui ibu.

Kalau kini aku membawa Linda? Apa kata ibu? Kepercayaan ibu selama ini padaku pastilah segera tercoreng. Ia tak akan mempercayaiku lagi untuk selama-lamanya. Ibu akau menudingku sudah berkhianat pada Mirna, pada kaum perempuan. Dan, aku yakin, ibu pun akan terluka hatinya. Sebagai sesama perempuan, hati ibu akan sama seperti yang dirasakan Mirna. Apalagi, aku tahu benar, ayah selama hidup perkawinannya dengan ibu tidak kudengar berselingkuh. Secuil pun tak melukai hati ibu. Tidak juga bermain mata dengan perempuan lain. Maka bukan mustahil ibu akan berang kalau tahu yang kubawa ke hadapannya adalah perempuan lain, meski hanya teman biasa.

Kalau tidak berbisik, ia akan terang-terangan berujar: "Jangan bawa perempuan lain ke sini, apa jadinya kalau Mirna tahu? Ibu tak enak, dikiranya ibu menyetujui hubungan kalian!" Atau dengan cara lain: ibu menunjukkan sikap tak sukanya.

Ada hubungan? Benarkah aku memiliki hubungan khusus dengan Linda? Sungguh, sulit aku menjawabnya. Linda adalah perempuan yang kukenal enam bulan lalu pada malam pembacaan puisi di Gedung Kesenian. Ia menemuiku sesudah acara, dan seperti dia katakan bahwa ia kerap membaca tulisanku di berbagai media massa nasional. Terutama cerpen-cerpenku yang dimuat tabloid wanita dan di sebuah harian terbesar di Jakarta. "Tapi, saya juga menyukai puisi-puisi Mas Rudi. Bahkan saya amat menyukai puisi Mas yang untuk ibu, saya hafal di luar kepala. Puisi itu sungguh-sungguh menggugah saya, membuat saya teringat pada ibu saya yang sudah meninggal. Kapan-kapan boleh saya bertemu dengan ibu Mas Rudi?"

Waktu itu aku hanya mengangguk. Mungkin basa-basi. Karena pikirku, tak mungkin Linda akan datang ke kotaku. Lagi pula pertemuan di suatu tempat seperti di Gedung Kesenian, seperti sebuah perjumpaan yang terjadi di halte, terminal, pelabuhan, ataupun di dalam perjalanan. Hanya saling “"hello" untuk kemudian berjalan masing-masing atau dilupakan.

Tapi, meleset. Ternyata tidak setiap pertemuan yang tak sengaja dan sekejap lalu tak berkesan. Sebab, bagi Linda, perjumpaan yang sekejap itu amat berkesan. Ia datang ke kotaku. Sepertinya hendak menagih janjiku untuk mempertemukannya dengan ibuku yang terabadi dalam puisiku: "Kembali Ziarah". Ia bahkan memujiku. Aku dinilainya sebagai anak yang berbakti pada ibu, yang memiliki kesejarahan yang sangat dekat dan kuat pada ibu.

"Dari puisi Mas Rudi itu, saya bisa merasakan bahwa pengarangnya memiliki kedekatan amat khusus dengan ibu. Padahal banyak pengarang yang menulis tentang ibu, tapi tak sedalam makna yang ada dalam puisi Mas Rudi. Itulah sebabnya, aku ingin sekali bertemu dengan ibu. Bagaimana sih sesungguhnya perempuan yang ada dalam puisi mas Rudi itu?" katanya memberi alasan saat kutanya mengapa ia ingin sekali bertemu dengan ibuku, sehingga jauh-jauh datang ke kotaku.

Linda kujemput di Bandara Radin Intan dengan pesawat pertama. Ia sempat kaget ketika ia kugiring ke motorku begitu keluar dari pintu bandara. Mungkin dalam benaknya, aku akan menjemputnya dengan mobil pribadi. Namun kekagetan itu hanya sesaat, wajahnya segera berganti ceria. "Wah, asyik sekali berkendaraan motor. Saya bisa leluasa melihat keindahan kotamu," ucapnya segera melompat ke jok motor.

"Kamu benar-benar heroik!" pujiku.

"Aneh?"

"Tidak sih. Cuma aku benar-benar tak memperkirakan kalau kau akan datang. Kukira malam itu, kau hanya basa-basi…."

"Saya tak pernah main-main dengan ucapanku. Aku tak suka kepura-puraan," katanya tegas. "Apa kau melihat wajahku seperti yang orang yang selalu pura-pura?"

"Tidak juga!"

"Nah, buang jauh-jauh kalau begitu pikiran negatifmu sejak sekarang tentang diriku…."

"Oke. Maafkan aku," kataku kemudian. "Sekarang kita mampir dulu ke rumah makan. Aku yakin kau pasti sudah lapar. Iya kan?"

"Wah, tawaran yang bagus itu."

Ini sudah hari ketiga Linda berada di kotaku. Ia sudah bertekad akan menetap agak lama, itu sebabnya, siang tadi ia memintaku mencarikan sewaan rumah. Ia tertarik dengan rumah itu, tinggal lagi kesepakatan harga. Sebenarnya aku sudah berulang menasihatinya agar segera pulang ke suaminya, tetap ia bersikukuh. Keputusannya sudah bulat: meninggalkan suaminya. Ia sudah mengajukan mutasi kerja ke bank cabang di kotaku.

"Tak ada yang bisa memengaruhi untuk kembali padanya. Aku sudah bosan dengan janji-janji palsunya!" tegasnya. Yang jelas, menurut Linda, akhirnya ini sejak suaminya pengangguran memang kerap ringan tangan. Padahal yang menutupi kebutuhan rumah tangganya dari gajinya.

Lalu ia meminta masukan perihal tata cara perceraian. Sekadarnya kujelaskan sejauh yang kutahu, tanpa ingin aku masuk ke persoalan rumah tangganya. Aku selalu berada di antara keduanya. Aku katakan padanya, biasanya yang menggugat perceraian bukan dari pihak istri. Oleh sebab itu, sulit jika pihak laki tak mau menceraikan.

"Kalau begitu masalahnya, ya sudah aku tak mau mengurus perceraian kami. Tapi juga aku tak ingin kembali menemuinya! Titik. Beres kan?"

"Jelas tak semudah itu," kataku. "Kalau, misalnya, nasib menentukan kau mencintai seseorang dan lelaki itu juga ingin menikahimu. Bagaimana kalau suamimu tahu dan karena merasa kalian belum bercerai, ia pun menuntut?"

"Ah, itu urusan nanti. Sebuah masalah yang belum terbayang dalam benakku!" Linda menepis kemungkinan itu. Dan, ia memang tipe orang yang selalu realistis. Ia lakoni apa yang ada pada hari ini dan yang di hadapannya.

Setelah itu diam. Beberapa lama. Motorku melaju menembus kilapan cahaya lampu sepanjang Jalan Diponegoro—menuju Kota Telukbetung. Ketika melintasi perempatan Jalan Dr Susilo, Linda menunjuk sepasang patung—Muli dan Menganai—yang masih berselimut kain putih.

"Mengapa patung itu diselimuti. Patung apa itu?" ia bertanya. Deru motor membuat suaranya sayup-sayup sampai ke telingaku.

"Itu patung Muli-Menganai. Bahasa Lampung artinya ’gadis dan bujang’. Karena belum sesuai adat dan kalau tak salah banyak yang protes, akhirnya patung yang baru dibuat oleh Wali Kota yang baru dilantik terpaksa ditunda peresmiannya," aku menjelaskan.

Linda tak lagi bertanya. Aku memacu motorku menuruni Jalan Diponegoro. Berhenti di sebuah warung khusus penjual pempek. Aku yakin Linda pasti ingin mencicipi pempek Palembang yang banyak disediakan di kawasan ini. Benar, ia bersemangat. Apalagi, setelah tahu harganya pun jauh lebih murah jika dibanding di Jakarta. Entah berapa puluh pempek disantapnya. Aku khawatir akan mengganggu perutnya.

"Kau keberatan mengantarku ke rumah ibu?" Linda kembali mengajukan pertanyaan, seusai pempek ke 15 dimakannya. Aku menghidupkan sebatang rokok. "Ya sudah kalau kau tak ingin, aku maklum. Berarti kau menganggapku hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu," lanjutnya.

"Maksudmu, Linda?" Aku tak mengerti. "Bukan karena aku keberatan, cuma belum saatnya."

Linda tak menyahut. Ia kesampingkan pandangannya.

"Maafkan aku, Linda. Bukan aku tak ingin mengenalkanmu dengan ibu. Hanya tidak sekarang," kataku membuka percakapan sambil memasukkan makanan ke mulut.

Hening. Kutatap wajah Linda dalam-dalam. Aku menginginkan pengertiannya, sekali lagi, agar ia membatalkan untuk bertemu ibu. Aku hendak menjaga perasaan ibu yang selama hidupnya mendampingi ayah tanpa dikhianati. Aku juga mau menenggang rasa Mirna. Tetapi, bukankah Linda juga perempuan? Ia juga punya perasaan, setidaknya memiliki kerinduan pada figur ibu sejak orangtuanya meninggalkan empat tahun lalu.

"Katamu kemarin, mau mengantarku sekarang?"

"Tapi, sudah malam, Linda?"

"Sudahlah, tak usah beralasan. Kau memang tak ingin menemukan aku dengan ibumu. Aku jadi meragukan tentang puisimu itu…"

"Oke, oke. Ayo, malam ini aku antar kau menemui ibuku," kataku sudah kehabisan cara untuk menolak keinginannya.

"Tapi, sepertinya kau terpaksa? Aku tak mau kau merasa dipaksa olehku, lalu mengantarku pun karena terpaksa. Aku tak suka itu…"

"Tidak, tidak. Aku mau mengantarmu sekarang, ayo…"

>diaC<

Ibu ternyata belum tidur. Kulihat mukena belum dilipatnya. Pastilah ibu baru selesai shalat sunah usai Isa menjelang tidur. Aku mengambil tangan ibu dan mencium sedalam-dalamnya.

"Ada apa Rud, malam-malam datang?"

Adikku yang sudah berkeluarga dan menemani ibu mendekati telinga ibu dan berbisik: "Rudi datang membawa teman perempuan. Katanya ingin bertemu ibu…"

"Siapa?" ibu bertanya. Entah lantaran tak mendengar atau pertanyaan yang menyimpan kecurigaan. Adikku mengulang. Ia menuntun ibu ke luar kamar.

Linda segera menghampiri dan mengambil tangan ibuku untuk kemudian menciumnya. "Saya Linda Bu dari Jakarta. Saya tertarik dengan puisi Mas Rudi yang sangat menyanjung dan memuji Ibu. Karena itu, saya ingin sekali bertemu Ibu, hendak bersilaturahmi."

Ibu hanya diam. Rona wajah ibu tak sedikit pun berubah. Ia mencari kursi di tempat biasa ibu duduk. Linda mendekat. Menyerahkan kue ke tangan ibu. Setelah itu merogoh isi tas dan mengeluarkan sesuatu.

"Siang tadi saya membeli kacamata, saya pikir Ibu tak bisa melihat hanya karena tak punya kacamata. Tapi…" ujar Linda sambil menyerahkan kacamata yang aku yakin harganya amat mahal.

"Maaf, Nak. Mata Ibu sudah tak butuh kacamata lagi. Sudah tak berfungsi lagi…."

"Bagaimana kalau dioperasi saja, Bu? Biar saya yang menanggung semua biayanya."

"Ah, tak perlu repot-repot, Nak. Biarlah, toh Ibu juga sudah tua. Umur Ibu sudah tak lama lagi."

"Jangan berkata begitu, Bu…," aku mencegah ucapan ibu yang menjurus pesimistis dan pasrah.

"Ya, Bu. Soal usia manusia, hanya Tuhan yang lebih tahu. Bagaimana, Bu, kalau mau dioperasi segera besok dibawa ke rumah sakit," lanjut Linda.

"Tak usah, Nak, tak usah repot-repot," kata ibu lembut. "Mata Ibu juga sudah tak mungkin bisa kembali, sudah lima tahun. Lagi pula, Ibu juga sudah diberi kesempatan oleh Allah melihat dunia cukup lama. Ibu juga tak jalan ke mana-mana lagi, hanya di rumah…"

"Tapi, Bu…," sosor Linda.

"Jangan sampai Ibu merepotkan Anak."

"Tidak, Bu…"

"Jangan. Ibu berterima kasih dengan niat Nak Linda. Ibu juga berterima kasih Anak mau menjenguk Ibu, hanya karena membaca puisi Rudi. Ah, Ibu sendiri tak tahu apa puisinya itu, Rudi tak pernah membacakannya di depan Ibu…"

"Bacakan…." Linda berbisik.

Aku segera membacakan puisi "Kembali Ziarah", tentu tidak seperti ketika aku membacakannya di panggung kesenian. Namun dengan interpretasi yang dalam, suaraku pelan dan bergetar. Kulihat tetesan yang menjelma anak sungai yang keluar dari sumber mata ibu membasahi kedua pipinya.

"Walau Ibu tak mengerti, puisimu menyentuh…," komentar ibu, usai kubacakan seluruh larik puisiku itu. "Sebagaimana meskipun mata Ibu sudah tak berfungsi, tapi Ibu tetap merasakan melihat dunia. Ibu bisa merasakan getar yang ada di dalam dirimu Rudi, juga yang ada padamu Nak Linda…"

Kuperhatikan Linda serba salah mendengar ucapan ibu. Mata ibu lebih tajam. Perasaan ibu sangatlah dalam. Betapa dalam sehingga mampu menembus segala rahasia.

"Jangan khianati istri dan anakmu. Menantu Ibu masih tetap Mirna…" bisik ibu sesampai di tempat tidur. Suaranya terbata dan pelan, tapi terdengar amat bergetar.

Lampung, April-Mei 2006

Thursday, January 24, 2008

Puisi Untuk Ayah dan Ibu

Ya Allah,
Rendahkanlah suaraku bagi mereka
Perindahlah ucapanku di depan mereka
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkan hatiku untuk mereka.......
Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya,
atas didikan mereka padaku dan Pahala yang
besar atas kasih sayang yang mereka limpahkan
padaku,
peliharalah mereka sebagaimana mereka
memeliharaku.
Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan
atau kesusahan yang mereka deritakan kerana
aku,
atau hilangnya sesuatu hak mereka kerana
perbuatanku,
maka jadikanlah itu semua penyebab susutnya
dosa-dosa mereka dan bertambahnya pahala
kebaikan mereka dengan perkenan-Mu ya Allah,
hanya Engkaulah yang berhak membalas
kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.
Ya Allah,
Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka
sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika sebaliknya, maka izinkanlah aku
memberi syafa'at untuk mereka,
sehingga kami semua berkumpul
bersama dengan santunan-Mu di tempat
kediaman yang dinaungi kemulian-Mu,
ampunan-Mu serta
rahmat-Mu..........
Sesungguhnya Engkaulah yang memiliki Kurnia
Maha Agung,
serta anugerah yang tak berakhir dan Engkaulah
yang Maha Pengasih diantara semua pengasih.

Amin Ya Rabbul Alamin..

Marilah kita kenangkan dosa kita kepada orang
tua kita. Siapa tahu hidup kita dirundung nestapa
kerana kedurhakaan kita. Kerana kita menghisap
darahnya, tenaganya, airmatanya, keringatnya.
Barangsiapa yang matanya pernah sinis melihat
orang tuanya. Atau kata-katanya sering mengguris
hatinya, atau yang jarang memperdulikan dan
mendoakannya.
Percayalah bahawa anak yang derhaka
siksanya didahulukan di dunia ini.

Ayah... Ibu ampunkanlah dosa-dosa anakmu...

Ummiku sering Menangis

Kontributor : Tim RumahkuSurgaku.com

YA ALLOH, Mengapa Ummiku Sering Menangis ?

Seorang anak kecil bertanya pada Tuhannya ?
Rabbi, mengapa Ummiku menangis
Alloh menjawab,...

Karena Ummimu seorang wanita
Aku menciptakan wanita sebagai mahluk yang istimewa
Aku kuatkan bahunya untuk menyangga dunia
Aku lembutkan hatinya untuk memberi rasa aman
Aku kuatkan rahimnya untuk melahirkan benih manusia
Dan aku tabahkan pribadinya utnuk terus berjuang saat orang lain menyerah

Aku beri dia rasa sensitif untuk mencintai putra-putrinya
Aku tanamkan rasa sayang yang akan meninabobokan anak-anaknya dan berbagi cerita dengan putra-putrinya yang beranjak dewasa
Aku berikan dia kekuatan untuk memikul beban keluarga tanpa mengeluh
Aku kuatkan batinya untuk tetap menyayangi meski disakiti oleh buah hatinya sekalipun!
Aku beri dia keindahan untuk melindungi batin suaminya Aku beri dia kebijaksanaan untuk mengerti bahwa suami yang baik tak kan pernah menyakitinya
Tapi kadang itu hanya ujian, apakah benar ia wanita setia

Ummimu, mahluk yang sangat kuat
Jika suatu saat kau lihat ummimu menangis
Karena aku beri dia air mata, yang bisa ia gunakan sewaktu-waktu
Untuk membasuh luka batinnya dan memberikan kekuatan yang baru

Berhati-hatilah dengan Kata-Kata

Kontributor : Agus Al Muhajir

Al kisah Seorang ibu dan seorang anaknya yang masih kecil sedang berbincang dengan tetangganya. Rame sekali segala obrolan yang mereka bincangkan, dari mulai masalah PR anaknya yang dirasakan terlalu berat sampai para suami mereka yang naik pangkat bahkan terselip juga berbagai obrolan seru memperbincangkan tentang gosip terkini yang aktual dan perlu mereka bahas secara intensif. Dan disela-sela perbincangan mereka itu terdengarlah sang ibu berkata " aduh..beruntungya aku ini, kebetulan aku punya suami yang baik, anak yang cerdas dan rizki juga lumayan lah ada. Meskipun kadang-kadang kurang , tapi yah ..hebat yah ..ada saja jalannya. Nggak nyangka aja tiba-tiba kebetulan suami dapet proyek gede pas banget ketika anak saya yang paling kecil ini harus sekolah …hebat yah .."
Sahabat, bagi sebagian besar dari kita mungkin tidak ada yang aneh dari perbincangan sang ibu yang saya kutip, tapi kalau anda jeli ada banyak masalah yang sangat krusial dan mendasar dibalik kata-kata tadi. Ada dua kata-kata yang bermasalah disana yang pertama adalah kata kebetulan yang berulang kali dikatakan oleh sang ibu . Dan yang kedua kata Rizki.. lumayan lah ada. Mari sekarang kita bedah lebih lanjut tentang dua kata ini.

Kebetulan

Kata ini memang sangat sering kita ucapkan secara tidak sadar . Kita sering memaknai berbagai kejadian yang terjadi dalam hidup kita sebagai sesuatu yang kebetulan. Padahal tatakala kita berfikir seperti itu, sesungguhnya dalam waktu yang sama kita telah menafikan campur tangan ALLAH SWT yang telah mengatur segala kejadian. Allah SWT berfirman : (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka ". ( Ali 'Imran 191). Diayat ini Allah menegaskan dengan gaya bahasanya yang indah bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah menciptakan sesuatu yang sia-sia. Allah tidak mengenal kata kebetulan.

Seorang sahabat pernah mengatakan kepada saya kalau betul ada sebuah kebetulan di dunia ini, maka angin puting beliung yang lewat Bandung pasti bisa menghasilkan banyak pesawat canggih secara kebetulan. Mungkinkah ini terjadi ? kalau ini mungkin terjadi tentu kita tidak memerlukan lagi ITB, cukup mengandalkan kebetulan saja. Tidak mungkin sebuah pesawat canggih bisa terbentuk dari sebuah kebetulan. Selalu ada arsitek dan perancangan yang rumit menyertai terbentuknya benda yang satu itu. Maka setelah kita fahami hal ini, kitapun akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada pula yang kebetulan dalam hidup kita. Ada campur tangan dari yang maha mengatur kita yaitu ALLAH SWT. Maka tatkala kita mengatakan kebetulan, sesungguhnya kita sudah menolak Allah SWT dan ini berarti sebuah penyimpangan akidah.

dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. .( Al Jaatsiyah 45).

Ingatlah terus ayat ini dan bacalah dengan akal kita, maka kita akan menemukan sebuah fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun bahwa tidak mungkin pergantian siang dan malam dan berbagai kejadian di semesta ini adalah sebuah kebetulan. Semuanya by design by the great creator yaitu Allah SWT.

Lumayan

Apa yang ada di benak anda ketika anda mendengar kata : sangat bagus..bagus..cukup bagus…lumayan..dan buruk ?. Bisa dipastikan yang ada dibenak anda adalah sebuah hirarki nilai atau hirarki kepuasan.Dimanakah posisi lumayan ?. Nyaris satu tingkat saja diatas predikat buruk. Maka tatkala kita mengatakan lumayan untuk rizki yang Allah titipkan kepada kita, sesungguhnya secara tidak langsung kita telah berkata " ya Allah ..rizki ini tidak terlalu buruk kok …yah ..meskipun nggak cukup baik..". dan pada saat itulah sesungguhnya kita sudah terjebak menjadi hamba yang tidak bersyukur atas kasih sayang Allah SWT. Maka untuk itu cermatilah firman Allah ini : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." ( QS.Ibrahim :7).

Berat ? iya. Allah sangat serius mengancam orang yang tidak bersyukur dengan azab, tidak cukup hanya azab biasa tapi azab yang pedih. Dan kita dengan tanpa beban mengatakan lumayan atas nikmat Allah . Masya Allah.

Setelah kita mencermati dan membedah dua kata tadi, sudah selayaknya kita berhati-hati dengan kata-kata yang kita gunakan apalagi didepan anak-anak kita tercinta.Jangan sampai secara tidak sadar kita mengajarkan kemusyrikan kepada anak-anak kita dan mengajarnya untuk menjadi orang yang tidak bersyukur kepada Allah SWT, naudzubillahi min dzalik…

Wallahu ' alam

Kepada Anak Perempuanku

Kontributor : Tim RumahkuSurgaku.com

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang halus perasaannya sedemikian halus, hingga dapat kaurasakan derita orang-orang yang terlunta di lorong-lorong peradaban dan dapat kau jelang mereka dengan penuh kasih sayang karena mereka adalah bagian dari dirimu juga, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang tajam pemikirannya sedemikian tajam, hingga dapat kau pecahkan buih-buih kebencian yang meracuni pengetahuan dan jernihlah muara sejernih hulunya karena abadinya nilai-nilai kesempurnaan tak dapat digantungkan kepada apa pun lagi selain kepada bening cintamu, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang kuat sendirian sedemikian kuat, hingga ketika kau telah mampu hidup tanpa bergantung kau pun mampu memilih untuk seutuhnya tergantung kepada siapa pun yang dihadirkanNYA untukmu karena kau sadar bahwa kau memang tercipta untuk dinikahi, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang tinggi martabatnya sedemikian tinggi, hingga dapat kau rendahkan hatimu serendah-rendahnya dan tangguhlah azab bagi mereka yang belum ridho mengesakanNYA sungguh esalah sucimu hanya dengan DIA sebagai saksi karena kenyataanmu memanglah tersembunyi, perempuan.

Semoga DIA menjadikanmu manusia yang dapat menahan pandangan sedemikian tahan, hingga ingatanmu kepadaNYA mampu menghanguskan setiap nafsu yang menyerang dari dalam dan luar dirimu dan menjadi cahaya lah wajahmu bagi pencari kebenaran serta hanya cadar hitam lah rupamu bagi pencari pembenaran karena hanya DIA lah yang kau jumpa dan hanya wajah NYA yang kau damba setiap kau temukan dirimu dalam cinta

dan..........

DIA lah hijab dihadapan siapa pun kau berada.

Yang Tak Terekam Tentang Ibu

Memiliki anak adalah kenikmatan tersendiri. Seluruh gerak dan ritual hidup saya berubah sejak memiliki Nayya. Di sisi lain, saya melihat beribu keajaiban yang sebelumnya tak pernah terekam dalam benak saya tentang seorang ibu, khususnya ibu saya, Mama.

Ibu saya pernah berkata, “Saat kamu memiliki anak, barulah kamu mengerti seluruh maksud dari yang Mama lakukan untuk kamu dan adik-adik kamu.”

Di hari ibu kemarin, seluruh kenangan perjalanan saya dan ibu saya kembali saya putar. Seakan memperhatikan slide-show Picasa di layar komputer saya, seluruh gambar berputar mundur hingga ke saat-saat saya kecil (dan bandelnya minta ampun) lalu akhirnya semuanya buram. Ah, ternyata hanya sejauh itulah saya bisa mundur.

Saat-saat saya enggan masuk ke rumah sehabis pulang sekolah dan akhirnya diam-diam menyimpan sepatu di atas tempat sampah dan pergi bermain. Atau bagaimana ibu saya menuntun saya pergi ke sekolah, sambil menggendong adik saya, di pagi yang gelap karena debu letusan gunung Galunggung. Ah, saya juga ingat bagaimana ibu saya harus pergi meminta maaf kepada ibu teman saya (saat itu TK nol kecil) karena saya melukai matanya menggunakan pedang-pedangan (padahal itu pertarungan yang fair kok :-D). Atau bagaimana galaknya ibu saya saat saya enggan belajar membaca.

O - te - o - to, bemo

saat itu saya yakin ibu saya tak akan tahu apa yang saya baca - toh tinggal lihat gambar semua ejaan akan benar. Jeweran dan cubitan menemani saya belajar. Namun itu semua yang membuat saya berhasil dan menjadi seperti saat ini.

Sayangnya saya tidak bisa melihat gambaran yang lebih tua dari itu. Ibu sayalah yang bercerita tentang masa bayi saya, namun sepertinya saya tak pernah puas dengan cerita saja. Saya ingin melihat gambaran masa-masa itu. Melihat ibu saya tersenyum saat menceritakan masa-masa saya bayi, meskipun cerita tersebut tentang saya yang tak bisa tidur, sakit, ataupun kebandelan saya saat bayi, membuat saya mengerti betapa berharganya perjalanan yang dilaluinya bersama saya.

Kini,

melihat bagaimana Bunbun mengasuh dan menjaga Nayya, membuat saya tersadar bahwa masa-masa inilah yang tak terekam di kepala saya. Sering, ketika malam saya mengecup kening Nayya dan Bunbun, saya seolah melihat gambaran ibu saya dan saya saat bayi.

Bagaimana tetesan air susu Bunbun menenangkan Nayya saat terbangun di malam hari dan menangis. Bagaimana pelukan Bunbun membuat Nayya nyaman saat berada di lingkungan yang asing baginya. Bagaimana belaian tangan Bunbun membuat Nayya tersenyum. Bagaimana telatennya Bunbun membersihkan lipatan-lipatan kulit di kaki dan tangan Nayya saat memandikannya di pagi dan sore hari.

Bagaimana detak jantung Bunbun membuat Nayya bisa tertidur saat demam tinggi menyerangnya. Bagaimana senyum Bunbun bisa membuat Nayya tertawa. Bagaimana sedih dan stressnya Bunbun karena berat badan Nayya di bawah rata-rata. Bagaimana tangis Bunbun saat Nayya jatuh sakit justru bisa membuat Nayya tertawa.

Bagaimana untaian doa di pagi, siang, malam, selalu digumamkan oleh Bunbun demi sang buah hati.

Ah, inikah yang tak terekam tentang ibu saya saat saya bayi?

Gratis Sepanjang Masa

Suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur. Ia menyerahkan selembar kertas yang telah ditulisinya. Setelah sang ibu mengeringkan tangannya dengan celemek. Ia pun membaca tulisan itu dan inilah isinya:

Untuk memotong rumput Rp. 5000
Untuk membersihkan kamar tidur minggu ini Rp. 5000
Untuk pergi ke toko disuruh ibu Rp. 3000
Untuk menjaga adik waktu ibu belanja Rp. 5000
Untuk membuang sampah Rp. 1000
Untuk nilai yang bagus Rp. 3000
Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp. 3000
Jadi jumlah utang ibu adalah Rp. 25000

Sang ibu memandangi anaknya dengan penuh harap. Berbagai kenangan terlintas dalam benak sang ibu. Lalu ia mengambil pulpen, membalikkan kertasnya. Dan inilah yang ia tuliskan:

Untuk sembilan bulan ibu mengandung kamu, gratis
Untuk semua malam ibu menemani kamu, gratis
Untuk membawamu ke dokter dan mengobati saat kamu sakit, serta mendoakan kamu, gratis
Untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurus kamu, gratis
Kalau dijumlahkan semua, harga cinta ibu adalah gratis
Untuk semua mainan, makanan, dan baju, gratis
Anakku… dan kalau kamu menjumlahkan semuanya,
Akan kau dapati bahwa harga cinta ibu adalah GRATIS

Seusai membaca apa yang ditulis ibunya, sang anak pun berlinang air mata dan menatap wajah ibunya, dan berkata: “Bu, aku sayang sekali sama ibu” ia kemudian mendekap ibunya. Sang ibu tersenyum sambil mencium rambut buah hatinya.”Ibupun sayang kamu nak” kata sang ibu.

Kemudian sang anak mengambil pulpen dan menulis sebuah kata dengan huruf-huruf besar sambil diperhatikan sang ibu: “LUNAS”

======

Bila membaca artikel dibawah ini...terpikirkan oleh kita bahwa seberapapun jasa yang tlah kita berikan kepada ibu, seberapapun uang yang kita dapatkan dan kita berikan kepada ibu, atau seberapapun liter keringat kerja yang kita kumpulkan untuk ibu, tidak akan dapat mengganti kasih sayang seorang ibu.Kasih ibu sepanjang masa. dapatkah kita menukar kasih sayang ibu itu dengan materi? menukar dengan bilangan angka?atau menukar dengan rangkaian kata terima kasih. Tidak sahabat, sama sekali tidak bisa. Oleh karenanya sahabatku, Berbuat baiklah kepadanya, sayangilah beliau, cintailah beliau, dan doakanlah beliau….

Sahabat, kita beruntung masih diberi kesempatan untuk mencium tangannya, mencium pipinya, memijit kakinya, membuatkan minuman untuknya dan menunjukkan sayang kita kepadanya. semoga kita dapat terus melayani beliau, di dunia ini, maupun di surga nanti. amin…

Maafkan Ibu, Anakku.....

Saat pulas tidurmu kucium lembut pipi mungilmu dan kuusap rambutmu
sungguh anakku, ibu mencintaimu

Maafkan ibu, anakku ketika tadi siang
engkau kubentak karena adik baru tidur dalam pelukanku
sedangkan badanku penat bukan main lantas engkau menjauh
sambil tetap memandangku
Maafkan ibu, anakku ketika jari ibu
meninggalkan bekas merah di pahamu
hanya karena engkau makan sembari bermain-main
lalu nasimu tumpah ke lantai tapi engkau tak menangis,
hanya mata beningmu menatapku dengan takut-takut

Maafkan ibu, anakku yang menolak bercerita saat engkau ingin mendengar kisah
yang bisa membuatmu tertawa gembiraatau menitikkan air mata,
hanya karena ibu sedang lelah....
atau ibu sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya

Maafkan ibu, anakku yang tidak lebih awal menjumpaimu untuk sekedar
duduk dan bermain bersama hanya karena ibu ingin
melakukan sesuatu untuk diri ibu...
anakku,
betapa ibu merasa bersalah
begitu ibu tahu engkau sangat dan sangat rindu duduk dipangkuanku

Maafkan ibu, anakku yang marah kepadamu
hanya karena kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahanmu...
ibu marah hanya karena ibu letih mengerjakan pekerjaan seorang ibu

Maafkan ibu, anakku
terkadang ibu ingin bisa membagi tubuhku agar segala keinginanmu terpenuhi...
sedang sebagian tubuhku yang lain mengerjakan tugas dan pekerjaan yang lain lagi..

Maafkan ibu, anakku
yang tidak mampu memberikan seluruh waktuku untukmu...

andai engkau tahu sayangku...
betapa ibu sangat mencintaimu,
betapa ibu terkadang bisa begitu ketakutan akan kehilanganmu,
betapa ibu bisa tertawa hanya karena tingkahmu,
betapa ibu bisa menangis tatkala melihatmu kecewa,
betapa ibu khawatir ketika engkau sakit..

Anakku,
sungguh ibu tak mengharap apa-apa
tatkala ibu berjuang menghadirkanmu ke dunia,
mendengar engkau sehat... itu saja telah mampu
menghilangkan seluruh derita

Sering ibu bertanya,
marahkah engkau pada ibu yang telah
marah kepadamu..
gelengan kepalamu membuat ibu lega,
walau tetap tak akan mampu menghapus rasa sesal dihatiku

Sungguh anakku,
cinta ibu padamu hanya Tuhan yang tahu...
tak pernah seseorang bisa mengukur dalamnya
cinta seorang ibu pada anaknya,
sampai ia kelak menjadi seorang ibu.

Maafkan ibu, anakku...
yang tak mampu menjadi ibu sebagaimana
seharusnya seorang ibu yang sempurna

Anakku...
ridha ibu adalah milikmu
agar kelak engkau mudah memasuki surga-Nya
(hanya itu mungkin, yang mampu ibu berikan untukmu, duhai permata hatiku......)

kontributor :Tim RumahkuSurgaku.com

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Saya mendapat artikel ini dari sebuah milis yang saya ikuti. Isinya tentang ungkapan jujur seorang anak.

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya
menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.

Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika:

“Apa yang kamu inginkan ?” Dika hanya menggeleng.

“Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?” tanya saya.

“Biasa-biasa saja” jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.

Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu
psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.

Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin ibuku :?.”

Dika pun menjawab : “membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja”

Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya
berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu
luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu
pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku ?”

Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya
“Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan
sesuatu”

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari,seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian
membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani
orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis
dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku tidak ?”

Maka Dika menjawab “Menganggapku seperti dirinya”

Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja
keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu
merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin
menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya
seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan
beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak : ..”

Dika pun menjawab “Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa” Tanpa
disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan
bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami
lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.

Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi
pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku berbicara tentang ?..”

Dika pun menjawab “Berbicara tentang hal-hal yang penting saja”.

Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang
sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut
saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.

Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang
penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya
dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan
pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya
dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang ?..”,

Dika pun menuliskan “Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui
kesalahannya dan meminta maaf kepadaku”.

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia,
orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana,
yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu
meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua
kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku setiap hari ?..”

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar “Aku
ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”

Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah
tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap hari ?.”

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata:
“tersenyum”

Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan
senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi
justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan
segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin ibuku
memanggilku? .”

Dika pun menuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”

Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang
paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku
memanggilku ..”

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”.

Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena
sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan
logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling” kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect
Child Rights is an Obligation, not a Choice” sebuah seruan yang
mengingatkan bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah
memanggilnya dengan panggilan yang tidakhormat dan bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah
anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik.

(sumber : Parenting..segalanya tentang ibu dan anak)